Mengapa tidak ada negara yang tidak punya konstitusi

Jendelahukum.com, Perspektif – Suatu negara konstitusional umumnya memiliki konstitusi tertulis sebagai aturan dasar yang memberikan panduan dasar dalam tata pengelolaan negara. Namun hal itu tidak berlaku bagi negara Inggris. Ia tidak memiliki konstitusi tertulis yang tersendiri, atau sebagaimana lazimnya disebut dengan undang-undang dasar.

Menariknya, walau pun begitu dunia tetap mengakui Inggris sebagai salah satu negara konstitusional. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan yang menarik; Darimana nilai-nilai konstitusional negara Inggris itu ditemukan? Bagaimana pula Inggris dapat terus berkembang di era modern tanpa tatanan hukum yang ditentukan secara definitif?

Baca juga: Piagam Madinah sebagai Konstitusi Tertulis Pertama

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada baiknya kita memahami terlebih dulu tentang apa yang dimaksud dengan konsep negara konstitusional. Hal ini penting untuk membangun fondasi pemahaman awal agar tidak salah kaprah dalam negara konstitusional seperti Inggris.

Secara historis, munculnya pemerintahan konstitusional senantiasa berhubungan dengan paham konstitusionalisme, yang mengajarkan kekuasaan suatu negara harus disusun sedemikian rupa agar tidak berlaku secara sewenang-wenang terhadap warga negaranya.

Adnan Buyung Nasution dalam desertasinya, mengatakan bahwa yang dimaksud negara konstitusional adalah pertama-tama ia merupakan negara yang mengakui dan menjamin hak-hak warga negara, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum.

Dengan begitu, inti dari konsep negara konstitusional, adalah adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan dengan pengorganisasian terhadap masing-masing lembaga negara, dan adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Di negara-negara dunia pada umumnya, prinsip pembatasan kekuasaan dan jaminan perlindungan HAM itu dituangkan dalam suatu naskah Undang-Undang Dasar. Namun begitu, penuangan kedua prinsip itu ke dalam Undang-Undang Dasar tidaklah menjadi prasyarat suatu negara dapat dikatakan sebagai negara konstitusional.

Berkaitan dengan itu, Herman Heller menyatakan bahwa konstitusi mempunyai arti yang lebih luas dari pada undang-undang dasar. Konstitusi merupakan merupakan suatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Dalam kaitannya dengan pemerintahan Inggris, Negara ratu Elizabet itu telah tumbuh dan berkembang sebagai sebuah negara yang mampu menjaga stabilitas hubungan antara lembaga pemerintahan dan warga negaranya. Karena itu Inggris dianggap tidak perlu untuk mengkonsolidasikan blok bangunan dasar dari tatanan pemerintahannya.

Apa yang dilakukan oleh Inggris adalah akumulasi berbagai aturan seperti Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), dan Parliament Act (1911) yang dijadikan sebagai hukum dasar dalam penyelenggaraan negaranya.

Jadi satu-satunya “Konstitusi Inggris” yang ada adalah seperangkat aturan dan peraturan yang dibentuk oleh yurisprudensi dan undang-undang (hukum Inggris dan Skotlandia), dan oleh berbagai perjanjian dan perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh Inggris.

Konstitusi yang tidak dikodifikasi ini sebagian besar telah berkembang dari hukum Inggris yang bersejarah, karena banyak dari prinsip-prinsip pendirian dan undang-undang dasarnya kembali ke piagam dan undang-undang yang disusun oleh parlemen Inggris jauh sebelum pembentukan Inggris Raya.

Baca juga: Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Sipil di Eropa

Di balik layar terdapat kode etik yang sama ketatnya dan besi tempa, yang sebagian dapat diturunkan dari kode praktik, Undang-Undang Parlemen, dan ‘bagian-bagian’ lainnya.

Meskipun mungkin tidak ada konstitusi yang hadir dalam arti dokumen definitif tunggal, Inggris pasti beroperasi di atas dasar konstitusi yang membuat negara berjalan lancar setiap hari. Aspek utama dari konstitusi Inggris adalah proses legislatif menyeluruh yang diperlukan untuk pengesahan hukum.

Setiap RUU harus terlebih dahulu diajukan ke House of Commons, sebuah badan perwakilan terpilih yang diberdayakan dengan kekuatan inisiatif legislatif.

Kamar pertama mengusulkan undang-undang dan memperdebatkan ketentuan secara mendalam, sebelum menyetujui rancangan akhir untuk diteruskan ke kamar kedua, yang dikenal sebagai House of Lords.

House of Lords sebagian besar tidak dipilih, dengan ‘keanggotaan’ diturunkan dari generasi ke generasi, atau anggota baru diusulkan oleh House of Commons.

Baca juga: Kesalahpahaman Ideologis dalam Pembukaan UUD 1945

Mereka kemudian memiliki hak veto, dan kemampuan untuk merujuk kembali ke ruang pertama perubahan yang mereka usulkan untuk setiap tagihan. Ini memastikan tidak ada undang-undang yang terburu-buru disahkan, dan secara teori harus mencakup semua kemungkinan.

Setelah melewati kedua Dewan, itu dirujuk ke raja, yang memiliki tanggung jawab pribadi untuk memastikan setiap undang-undang sesuai dengan kehendak rakyat, dan dibenarkan secara moral. Meskipun raja tidak menggunakan hak vetonya sejak abad ke-17, itu masih merupakan perlindungan konstitusional yang penting di Inggris.

Konstitusi Inggris mungkin tidak tampak jelas pada awalnya, tetapi tentu saja ada jaringan tata kelola dan praktik yang rumit di bawah bagian luarnya yang kosong. Ini telah digambarkan sebagai konstitusi paling sukses di dunia, dan ini didukung oleh kesuksesan abadi dan kurangnya masalah sejak awal evolusinya.

Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.

A. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam larangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.

Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan: a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan b. Aadanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi Di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan-pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.” Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal. B. Tujuan Konstitusi Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri. Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Aturan-aturan di luar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam undang-undang atau bersumber/berdasar pada adat kebiasaan setempat. Contoh yang tepat adalah Inggris dan Kanada, artinya tidak memiliki sama sekali konstitusi tertulis tetapi tidak dapat dikatakan tidak ada aturan yang sifat dan kekuatannya tidak berbeda dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen yang terkenal yaitu “Magna Charta” yang merupakan dokumen kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi manusia. Pada saat itu raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna Charta tersebut. Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan-bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai pemegang puncak kekuasaan pemerintahan. Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam garis besarnya (pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja Inggris dan kemerdekaan bergerak semua orang bebas (freeman) dalam kerajaan Inggris. Di samping itu dijamin dan dilindungi, antara lain: 1). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian dari siapapun tanpa membayar harganya seketika itu juga kecuali apabila si pemilik memberi izin menangguhkan pembayaran (pasal 28); 2). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau kendaraan dari seorang yang bebas (freeman) untuk keperluan pengangkutan tanpa izin si pemilik (pasal 30); 3). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu untuk keperluan raja tanpa persetujuan si pemilik; Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain ditentukan: 1). Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan seorang di muka pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang-orang yang dipercaya (pasal 38); 2). Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke dalam penjara atau dilarang berdiam di satu daerah tertentu kecuali atas putusan oleh penguasa setempat atau dibenarkan oleh aturan negara (pasal 39); 3). Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan pelaksanaan haknya atau peradilan (pasal 40). Dalam banyak hal ditentukan juga bahwa siapapun boleh meninggalkan kerajaan atau kembali dengan sehat dan aman melalui daratan atau perairan (laut) kecuali ada perang dan karena ditahan sesuai dengan aturan negara. Yang sangat menarik adalah aturan mengenai pengangkatan/pengisian berbagai jabatan terkait dengan penegakan hukum, misalnya ditentukan tidak seorangpun diangkat sebagai hakim, polisi atau jaksa, kecuali apabila orang itu benar-benar mengetahui aturan hukum negara, beritikad baik untuk melakukan fungsi jabatan yang diisinya. Ketentuan akhir dari Magna Charta antara lain menyatakan gereja Inggris adalah merdeka dan semua orang dalam kerajaan akan menikmati kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas sebaik-baiknya dalam suasana damai tenteram sampai turun temurun atas itikad baik raja dan para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna Charta ini diulangi lagi oleh raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of England and Of The Liberties Of Forest”. Memang di Inggris pernah ada semacam konstitusi tertulis yaitu pada saat Cromwell memegang tampuk kekuasaan pemerintahan (1653-1660) dengan satu dokumen yang disebut “The Instrument Of Government”, tetapi berlaku hanya sekali saat itu. Ada beberapa aturan (undang-undang) lain di Inggris tertentu, antara lain: The Habeas Corpus Act 1670, The Bill Of Rights 1689, The Act Of Settlement 1700, The parliament Act 1911, The Statute Of Westminster 1931, The Representation Of The People Act (1928, 1945, 1948), The House Of Common Act 1944 dan The Parliament Act 1949.